August 12, 2009

Seks Islami


Ibnu Qoyyim menjelaskan bahwa dalam persetubuhan (senggama) suami istri terdapat puncak kenikmatan, puncak kasih sayang terhadap pasangannya, pahala, shodaqoh, kesenangan jiwa, hilangnya pikiran-pikiran kotor, hilangnya ketegangan, badan terasa ringan dan bertambah sehat.Pada setiap bagian tubuh mendapat sentuhan kenikmatan. Mata memperoleh kenikmatan dengan memandang pasangannya, telinga mendengar perkataannya, hidung mencium aromanya, mulut mengecupnya dan tangan mengelusnya. Setiap anggota badan mendapat bagian kenikmatan yang dituntutnya. “ [ Raudhatul Muhibbin Taman Orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu, hal 179-180]

Yang namanya masturbasi tuh bukan kenikmatan sejati, tetapi kenikmatan semu saja! Imam Abu Hamid a-Ghazali berkata di dalam Ihya Ulumuddin, Diriwayatkan bahwa suatu hari orang-orang bubar dari majelis Ibnu Abbas, tinggal seorang pemuda yang tidak beranjak dari tempat itu.
Kemudian Ibnu Abbas bertanya kepadanya, “Apakah engkau mempunyai suatu keperluan?



Dia menjawab: “Ya, saya ingin menanyakan suatu masalah, tetapi saya malu kepada orang-orang, dan sekarang saya hendak menanyakannya kepada tuan. Ibnu Abbas berkata, “Sesungguhnya orang alim itu kedudukannya seperti orang tua (ayah), maka apa yang engkau inginkan terhadap ayahmu sampaikanlah kepadaku. Lalu pemuda itu berkata, “Saya adalah seorang pemuda yang tidak mempunyai istri. Kadang-kadang saya takut resiko terhadap diri saya. Kadang-kadang saya melakukan onani (mengeluarkan sperma dengan tangan), maka apakah yang demikian itu termasuk maksiat/pelanggaran?

Ibnu Abbas berpaling darinya, kemudian berkata, “Cis, cis, kawin dengan perempuan budak itu lebih baik daripada onani, namun onani itu lebih baik daripada zina. Maka ini merupakan peringatan bahwa orang Arab yang kuat libidonya (nafsu seksnya) itu menghadapi tiga macam kejelekan. Yang paling ringan adalah mengawini budak perempuan, yang dengan demikian berarti menjadikan anaknya nanti seorang budak. Lebih buruk dari itu adalah melakukan onani, kemudian yang paling buruk adalah zina. Ibnu Abbas tidak mengatakan bolehnya melakukan hal ini secara mutlak, karena dikhawatirkan terjatuh ke dalam perkara yang lebih berat lagi, sebagaimana bersegeranya memberikan keputusan tentang bolehnya makan bangkai karena dikhawatirkan akan membinasakan jiwa (apabila tidak memakannya). Maka memperkenankan yang lebih ringan dari dua perkara itu bukan berarti membolehkannya secara mutlak, juga bukan berarti lebih baik secara mutlak. (Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita jilid 6, Penerbit Gema Insani Press yang mengutip pendapat Ghazali dalam Kitab Ihya Ulumiddin).

Selanjutnya, Ibnu taimiyah berkata di dalam kitab Fatawa-nya, “Onani itu hukumnya haram menurut kebanyakan ulama, dan ini adalah salah satu dari dua riwayat Imam Ahmad, bahkan dikatakan yang paling jelas. Sedangkan menurut satu riwayat (dari beliau), hukumnya adalah makruh. Akan tetapi, apabila timbul goncangan dalam jiwa yang bersangkutan, misalnya ia khawatir terjatuh ke dalam perbuatan zina jika tidak melakukan onani, atau khwatir jatuh sakit, maka dalam hal ini terdapat dua macam pendapat ulama. Dalam hal ini beberapa golongan ulama salaf dan khalaf memberikan kemurahan (memperbolehkannya), sedangkan sebagian lainnya melarangnya.” (Ibid, mengutip dari Ibnu Taimiyah dalam Majmu fatawa).

Syekh Ali Thanthawi dalam kitabnya Shuwarwa Khawathir, di celah-celah penolakannya terhadap salah seorang pemuda yang merasa payah (menderita) karena tekanan nafsu seksnya. Beliau berkata, “Jika seseorang sengaja melakukan onani, yang meskipun keburukannya palng kecil dan mudharatnya paling ringan di antara tiga macam kejelekan, tetapi kalau melampui batas maka ia dapat menimbulkan kesedihan dalam hati dan penyakit dalam tubuh, dan menjadikan pelakunya yang masih muda tampak menjadi tua, gundah dan beringas, yang menyebabkan orang lain lari dan takut kepadanya, dan dia sendiri takut menghadapi kehidupan dan beban-bebannya.” Dalam kitab tersebut beliau juga berkata, “Saya tidak menyerukan onani, tetapi saya menetapkan hakikat yang ditetapkan oleh banyak dokter ahli, dan secara garis besar pendapat ini disetujui oleh banyak dokter ahli, dans ecara garis besar pendapat ini disetujui oleh fuqaha-fuqaha golongan Hanafiyah.

“Wahai segenap Kaum Muda! Barang siapa di antara kalian sudah mempunyai kemampuan maka hendaklah dia menikah, karena menikah lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih dapat memelihara kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa karena puasa merupakan perisai baginya.” (HR Bukhari)

Heheh masalahnya sekarnag yang saya hadapai adalah anak-anak SMA, ga mungkin banget klo saya nyaranin buwat nikah, so banyakin puasa n libatin diri dalam kegiatan yang positif. Masih banyak hal yang bisa dikerjakan untuk sebuah kerja besar, Dakwah!. Saya teringat akan tausiyahnya Ustdzah Munawaroh, Istri Ust Falah, duluw para aktivis ga kepikiran untuk nikah mud, dikarenakan karena aktivitas antara ikhwan dan akhwat kala itu sangat terjaga, jarak ngomongnya aja hampir 1 meter. Kondisinya sangat berbeda dengan kondisi sekarang, sehingga tak aral banyak aktivis kampus terkena VMJ. Duw-duw klo dicermati benar juga yak. Hal yang kita lakukan sekarang adalah bagaimana kita bisa menghijabi diri sendiri, ga hanya fisik tapi juga pikiran kita. So energy yang tersisa dari kita-kita para pemuda tak tersedot untuk hal-hal yang ga perlu, bahkan hal-hal yang dilarang agama. Azzamkan diri niatkan secara pasti, yakin Alloh berada di belakang kita untuk selalu tersenyum kepada kita dengan proses kita untuk menjadi insan yang lebih baik dan mulia (karimaa).

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang mensucikan diri.” (Qs Al-Baqarah: 222)
>>>>>>>>melati-asih.web.ugm.ac.id<<<<<<

0 comments:

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP